Alhamdulillah wa shalaatu
wa salaamu ‘ala Rosulillah wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Sangat wajar jika seseorang menginjak usia senja, muncul pada
kepala, wajah atau jenggotnya rambut putih, alias uban.
Itulah fase kehidupan yang akan dilewati oleh setiap insan sebagaimana firman
Allah Ta’ala,
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن ضَعْفٍ ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ
ضَعْفٍ قُوَّةً ثُمَّ جَعَلَ مِن بَعْدِ قُوَّةٍ ضَعْفاً وَشَيْبَةً يَخْلُقُ مَا
يَشَاءُ وَهُوَ الْعَلِيمُ الْقَدِيرُ
“Allah, Dialah yang
menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) sesudah
kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS.
Ar Ruum: 54)
Kadangkala memang kita ingin menghilangkannya, mencabutnya, atau
mengganti warnanya dengan warna lain. Namun alangkah bagusnya jika setiap
tindak-tanduk kita didasari dengan ilmu agar kita tidak sampai terjerumus dalam
kesalahan dan dosa. Sebuah petuah bagus dari Mu’adz bin Jabal yang harus
senantiasa kita ingat:
العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ
“Ilmu adalah pemimpin amal
dan amalan berada di belakang ilmu.” (Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar, Ahmad
bin ‘Abdul Halim Al Haroni, hal. 15)
Jadi dalam masalah uban ini, marilah kita ikuti petunjuk
syari’at Islam yang suci nan sempurna. Dengan mengikuti petunjuk inilah
seseorang akan menuai kebahagiaan. Sebaliknya, jika enggan mengikutinya, hanya
mau memperturutkan hawa nafsu semata dan menuruti perkataan manusia yang
mencocoki hawa nafsu tanpa ada dasar dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, niscaya orang seperti ini akan binasa.
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ تُطِيعُوهُ تَهْتَدُوا وَمَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا
الْبَلَاغُ الْمُبِينُ
“Dan jika kamu ta’at
kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk. Dan tidak lain kewajiban rasul itu
melainkan menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS.
An Nur: 54)
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Berpegangteguhlah dengan
ajaranku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan
amal). Pegang teguhlah ajaran tersebut dengan gigi geraham kalian.” (HR.
Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban. At Tirmidizi mengatakan hadits
ini hasan shohih.
Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At Targhib wa At Tarhib no. 37)
Salah seorang khulafa’ur
rosyidin dan manusia terbaik setelah Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لَسْتُ تَارِكًا شَيْئًا كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَعْمَلُ بِهِ إِلَّا عَمِلْتُ بِهِ إِنِّي أَخْشَى إِنْ
تَرَكْتُ شَيْئًا مِنْ أَمْرِهِ أَنْ أَزِيْغَ
”Aku tidaklah biarkan
satupun yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam amalkan kecuali aku
mengamalkannya karena aku takut jika meninggalkannya sedikit saja, aku akan
menyimpang.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Ulama yang sudah tersohor namanya di tengah-tengah kita, yakni
Imam Syafi’i mengatakan,
أجمع المسلمون على أن من استبان له سنة عن رسول الله صلى الله عليه
وآله وسلم لم يحل له أن يدعها لقول أحد
“Kaum muslimin sepakat
bahwa siapa saja yang telah jelas baginya ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkannya karena perkataan yang
lainnya.” (Madarijus Salikin, 2/335, Darul Kutub Al ‘Arobi. Lihat juga Al Haditsu Hujjatun bi Nafsihi fil ‘Aqoid wal Ahkam,
Muhammad Nashiruddin Al Albani, hal. 79, Asy Syamilah)
Uban adalah Cahaya Bagi
Seorang Mukmin
Al Baihaqi membawakan sebuah pasal dengan judul “larangan
mencabut uban”. Lalu di dalamnya beliau membawakan hadits dari ‘Abdullah bin
‘Umar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الشيب نور المؤمن لا يشيب رجل شيبة في الإسلام إلا كانت له بكل
شيبة حسنة و رفع بها درجة
“Uban adalah cahaya bagi
seorang mukmin. Tidaklah seseorang beruban –walaupun sehelai- dalam Islam
melainkan setiap ubannya akan dihitung sebagai suatu kebaikan dan akan
meninggikan derajatnya.” (HR. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shogir mengatakan
bahwa hadits ini hasan)
Muhammad bin Hibban At Tamimi rahimahullah -yang lebih dikenal
dengan Ibnu Hibban- dalam kitab Shahihnya menyebutkan pembahasan “Hadits yang menceritakan bahwa Allah akan mencatat kebaikan dan
menghapuskan kesalahan serta akan meninggikan derajat seorang muslim karena
uban yang dia jaga di dunia.” Lalu Ibnu Hibban membawakan hadits berikut.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لا تنتفوا الشيب فإنه نور يوم القيامة ومن شاب شيبة في الإسلام كتب
له بها حسنة وحط عنه بها خطيئة ورفع له بها درجة
“Janganlah mencabut uban
karena uban adalah cahaya pada hari kiamat nanti. Siapa saja yang beruban dalam
Islam walaupun sehelai, maka dengan uban itu akan dicatat baginya satu
kebaikan, dengan uban itu akan dihapuskan satu kesalahan, juga dengannya akan
ditinggikan satu derajat.” (HR. Ibnu Hibban dalam Shahihnya. Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Uban Tidak Boleh Dicabut
Dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berkata bahwa
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي
الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Janganlah mencabut uban.
Tidaklah seorang muslim yang beruban dalam Islam walaupun sehelai, melainkan
uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti.” (HR. Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan
bahwa hadits ini shahih)
Hukuman bagi orang yang mencabut ubannya adalah kehilangan
cahaya pada hari kiamat nanti. Dari Fudholah bin ‘Ubaid, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَانَتْ نُورًا لَهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَقَالَ رَجُلٌ عِنْدَ ذَلِكَ فَإِنَّ رِجَالًا يَنْتِفُونَ
الشَّيْبَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ شَاءَ
فَلْيَنْتِفْ نُورَهُ
“Barangsiapa memiliki uban
di jalan Allah walaupun hanya sehelai, maka uban tersebut akan menjadi cahaya
baginya pada hari kiamat.” Kemudian ada seseorang yang berkata ketika
disebutkan hal ini: “Orang-orang pada mencabut
ubannya.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Siapa saja yang ingin, silakan dia memotong cahaya (baginya di
hari kiamat).” (HR. Al Bazzar, At Thabrani dalam Al Kabir dan Al Awsath dari riwayat Ibnu
Luhai’ah, namun perowi lainnya tsiqoh –terpercaya-. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targib wa At Tarhib mengatakan
bahwa hadits ini hasan)
Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Siapa saja yang ingin, maka silakan dia memotong cahaya (baginya
di hari kiamat)”; tidak menunjukkan bolehnya mencabut uban,
namun bermakna ancaman.
Rambut uban mana yang dilarang dicabut?
Larangan mencabut uban mencakup uban yang berada di kumis, jenggot, alis, dan kepala. (Al Jami’ Li Ahkami Ash Shalat,
Muhammad ‘Abdul Lathif ‘Uwaidah, 1/218, Asy Syamilah)
Apa hukum mencabut uban apakah haram ataukah makruh?
Para ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat
bahwa mencabut uban adalah makruh.
Abu Dzakaria Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah mengatakan,
“Mencabut ubat dimakruhkan berdasarkan
hadits dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya. … Para ulama Syafi’iyah
mengatakan bahwa mencabut uban adalah makruh dan hal ini ditegaskan oleh Al
Ghozali sebagaimana penjelasan yang telah lewat. Al Baghowi dan selainnya
mengatakan bahwa seandainya mau dikatakan haram karena
adanya larangan tegas mengenai hal ini, maka ini juga benar dan tidak mustahil.
Dan tidak ada bedanya antara mencabut uban yang ada di jenggot dan kepala
(yaitu sama-sama terlarang). (Al
Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 1/292-293, Mawqi’ Ya’sub)
Namun jika uban tersebut terdapat di jenggot atau pada rambut
yang tumbuh di wajah, maka hukumnya jelas haram karena
perbuatan tersebut termasuk an namsh yang
dilaknat.
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
لعن الله الربا و آكله و موكله و كاتبه و شاهده و هم يعلمون و الواصلة
و المستوصلة و الواشمة و المستوشمة و النامصة و المتنمصة
“Allah melaknat riba,
pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkannya (nasabah), orang yang
mencatatnya (sekretaris) dan yang menjadi saksi dalam keadaan mereka mengetahui
(bahwa itu riba). Allah juga melaknat orang yang menyambung rambut dan yang
meminta disambungkan rambut, orang yang mentato dan yang meminta ditato, begitu
pula wanita yang mencabut rambut pada wajah dan wanita yang meminta dicabut.” (Diriwayatkan dalam Musnad Ar Robi’ bin Habib. Syaikh Al
Albani dalam Al Jami’ Ash Shagir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah mengatakan,
“Adapun mencabut uban dari jenggot atau uban dari rambut yang tumbuh di wajah,
maka perbuatan seperti ini diharamkan karena
termasuk an namsh. An namsh adalah mencabut rambut
yang tumbuh di wajah dan jenggot. Padahal terdapat hadits yang menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
melaknat orang yang melakukan an namsh.” (Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin,
11/80, Asy Syamilah)
Kesimpulan: hukum
mencabut uban dapat dikatakan haram karena
ada dalil tegas mengenai hal ini, sedangkan mayoritas ulama mengatakan hukumnya
adalah makruh. Namun sebagai seorang muslim yang ingin selalu mengikuti
petunjuk Nabinya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan agar tidak kehilangan cahaya
di hari kiamat kelak, maka seharusnya seorang muslim membiarkan ubannya (tidak
perlu dicabut). Dengan inilah dia akan mendapat tiga keutamaan: [1] Allah akan mencatatnya kebaikan, [2]
dan menghapuskan kesalahan serta [3] akan meninggikan derajat seorang
muslim karena uban yang dia jaga di dunia. Namun,
jika uban tersebut berada pada jenggot atau rambut yang tumbuh di wajah, maka
ini jelas haramnya. Wallahu a’lam.
Sebagaimana perkataan seorang penyair:
الله
يغضب إن تركت سؤاله وبني آدم حين يسأل يغضب
Allah Ta’ala berfirman dalam
sebuah hadits qudsi:
يا
ابن آدم إنك ما دعوتني ورجوتني غفرت لك على ما كان منك ولا أبالي (HR.
At Tirmidzi, ia berkata: ‘Hadits hasan shahih’)
Allah Ta’ala berfirman:
ادْعُونِي
أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ
جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ (QS.
Ghafir: 60)
Berdoa Di Waktu Yang Tepat
1. Ketika sahur atau sepertiga malam
terakhir
Allah Ta’ala mencintai hamba-Nya
yang berdoa disepertiga malam yang terakhir. Allah Ta’ala berfirman tentang
ciri-ciri orang yang bertaqwa, salah satunya:
وَبِالْأَسْحَارِ
هُمْ يَسْتَغْفِرُون (QS. Adz Dzariyat: 18)
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam:
ينزل
ربنا تبارك وتعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا ، حين يبقى ثلث الليل الآخر، يقول :
من يدعوني فأستجيب له ، من يسألني فأعطيه ، من يستغفرني فأغفر له (HR. Bukhari no.1145, Muslim no. 758)
2. Ketika berbuka puasa
sebagaimana
hadits:
للصائم
فرحتان : فرحة عند فطره و فرحة عند لقاء ربه (HR. Muslim, no.1151)
sabda
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
ثلاث
لا ترد دعوتهم الصائم حتى يفطر والإمام العادل و المظلوم (HR. Tirmidzi
no.2528, Ibnu Majah no.1752, Ibnu Hibban no.2405, dishahihkan Al Albani di Shahih
At Tirmidzi)
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا أفطر قال ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن
شاء الله
“Biasanya
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam ketika berbuka puasa membaca doa:
ذهب الظمأ وابتلت العروق وثبت الأجر إن شاء الله (HR. Abu Daud no.2357, Ad Daruquthni 2/401,
dihasankan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Hidayatur
Ruwah,
2/232)
3. Ketika malam lailatul qadar
firmanAllah Ta’ala:
لَيْلَةُ
الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ (QS.
Al Qadr: 3)
Ummul Mu’minin Aisyah Radhiallahu’anha:
قلت
يا رسول الله أرأيت إن علمت أي ليلة ليلة القدر ما أقول فيها قال قولي اللهم إنك
عفو كريم تحب العفو فاعف عني (HR. Tirmidzi, 3513, Ibnu Majah, 3119, At
Tirmidzi berkata: “Hasan Shahih”)
4. Ketika adzan berkumandang
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
ثنتان
لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani
dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan Shahih”)
5. Di antara adzan dan iqamah
berdasarkan
sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam:
الدعاء
لا يرد بين الأذان والإقامة
(HR. Tirmidzi, 212, ia berkata: “Hasan
Shahih”)
6. Ketika sedang sujud dalam shalat
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
أقرب
ما يكون العبد من ربه وهو ساجد . فأكثروا الدعا (HR.
Muslim, no.482)
7. di akhir shalat wajib
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
قيل
يا رسول الله صلى الله عليه وسلم أي الدعاء أسمع قال جوف الليل الآخر ودبر الصلوات
المكتوبات
(HR. Tirmidzi, 3499)
8. Di hari Jum’at
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم ذكر يوم الجمعة ، فقال : فيه ساعة ، لا يوافقها عبد
مسلم ، وهو قائم يصلي ، يسأل الله تعالى شيئا ، إلا أعطاه إياه . وأشار بيده
يقللها
(HR. Bukhari 935, Muslim 852 dari
sahabat Abu Hurairah Radhiallahu’anhu)
Ibnu
Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari ketika menjelaskan
hadits ini beliau menyebutkan 42 pendapat ulama tentang waktu yang dimaksud.
Namun secara umum terdapat 4 pendapat yang kuat.
Pendapat pertama, yaitu waktu sejak
imam naik mimbar sampai selesai shalat Jum’at, berdasarkan hadits:
هي
ما بين أن يجلس الإمام إلى أن تقضى الصلاة (HR.
Muslim, 853 dari sahabat Abu Musa Al Asy’ari Radhiallahu’anhu). Pendapat ini
dipilih oleh Imam Muslim, An Nawawi, Al Qurthubi, Ibnul Arabi dan Al Baihaqi.
يوم
الجمعة ثنتا عشرة يريد ساعة لا يوجد مسلم يسأل الله عز وجل شيئا إلا أتاه الله عز
وجل فالتمسوها آخر ساعة بعد العصر
(HR. Abu Daud, no.1048 dari sahabat Jabir bin
Abdillah Radhiallahu’anhu. Dishahihkan Al
Albani di Shahih Abi Daud). Pendapat ini
dipilih oleh At Tirmidzi, dan Ibnu Qayyim Al Jauziyyah. Pendapat ini yang lebih
masyhur dikalangan para ulama.
Pendapat ketiga, yaitu setelah
ashar, namun diakhir-akhir hari Jum’at. Pendapat ini didasari oleh riwayat dari
Abi Salamah. Ishaq bin Rahawaih, At Thurthusi, Ibnul Zamlakani menguatkan
pendapat ini.
Pendapat keempat, yang juga dikuatkan
oleh Ibnu Hajar sendiri, yaitu menggabungkan semua pendapat yang ada. Ibnu
‘Abdil Barr berkata: “Dianjurkan untuk bersungguh-sungguh dalam berdoa pada dua
waktu yang disebutkan”. Dengan demikian seseorang akan lebih memperbanyak
doanya di hari Jum’at tidak pada beberapa waktu tertentu saja. Pendapat ini
dipilih oleh Imam Ahmad bin Hambal, Ibnu ‘Abdil Barr.
9. Ketika turun hujan
ثنتان
ما تردان : الدعاء عند النداء ، و تحت المطر (HR Al
Hakim, 2534, dishahihkan Al Albani di Shahih Al
Jami’,
3078)
10. Hari Rabu antara Dzuhur dan Ashar
Jabir
bin Abdillah Radhiallahu’anhu:
أن
النبي صلى الله عليه وسلم دعا في مسجد الفتح ثلاثا يوم الاثنين، ويوم الثلاثاء،
ويوم الأربعاء، فاستُجيب له يوم الأربعاء بين الصلاتين فعُرِفَ البِشْرُ في وجهه
قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة
قال جابر: فلم ينزل بي أمر مهمٌّ غليظ إِلاّ توخَّيْتُ تلك الساعة فأدعو فيها فأعرف الإجابة
“Nabi shalallahu
‘alaihi wasalam berdoa di Masjid Al Fath 3 kali, yaitu hari Senin, Selasa
dan Rabu. Pada hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu diantara dua shalat. Ini
diketahui dari kegembiraan di wajah beliau. Berkata Jabir : ‘Tidaklah suatu
perkara penting yang berat pada saya kecuali saya memilih waktu ini untuk
berdoa,dan saya mendapati dikabulkannya doa saya‘”
Dalam
riwayat lain:
فاستجيب
له يوم الأربعاء بين الصلاتين الظهر والعصر
“Pada
hari Rabu lah doanya dikabulkan, yaitu di antara shalat Zhuhur
dan Ashar”
(HR. Ahmad, no. 14603, Al Haitsami dalam Majma Az
Zawaid,
4/15, berkata: “Semua perawinya tsiqah”, juga dishahihkan
Al Albani di Shahih At Targhib, 1185)
11. Ketika Hari Arafah
Sebab
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
خير
الدعاء دعاء يوم عرفة (HR. At Tirmidzi, 3585. Di shahihkan Al Albani
dalam Shahih At Tirmidzi)
12. Ketika Perang Berkecamuk
ثنتان
لا تردان أو قلما تردان الدعاء عند النداء وعند البأس حين يلحم بعضهم بعضا (HR. Abu Daud, 2540, Ibnu Hajar Al Asqalani
dalam Nata-ijul Afkar, 1/369, berkata: “Hasan
Shahih”)
13. Ketika Meminum Air Zam-zam
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
Tambahan
Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda,
لا
إن كلكم مناج ربه فلا يؤذين بعضكم بعضا ولا يرفع بعضكم على بعض في القراءة أو قال
في الصلاة
“Ketahuilah,
kalian semua sedang bermunajat kepada Allah, maka janganlah saling mengganggu
satu sama lain. Janganlah kalian mengeraskan suara dalam membaca Al Qur’an,’
atau beliau berkata, ‘Dalam shalat’,” (HR. Abu Daud no.1332, Ahmad, 430,
dishahihkan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani di Nata-ijul
Afkar,
2/16).
لا يزال يستجاب للعبد ما
لم يدع بإثم أو قطيعة رحم
Artinya : "Doa seorang hamba akan selalu
dikabulkan selama tidak berdoa untuk suatu yang berdosa atau untuk memutus tali
silaturahmi." (HR Muslim)
يستجاب لأحدكم ما لم يعجل ، يقول دعوت فلم يستجب لي
يستجاب لأحدكم ما لم يعجل ، يقول دعوت فلم يستجب لي
Artinya : "Akan dikabulkan doa seseorang
jika tidak buru-buru, berkata : saya telah berdoa tapi belum dikabulkan
juga." (HR Bukhori dan Muslim)
لا يقولن أحدكم اللهم اغفر لي إن شئت اللهم ارحمني إن شئت ، ليعزم المسألة فإنه لا مستكره له
لا يقولن أحدكم اللهم اغفر لي إن شئت اللهم ارحمني إن شئت ، ليعزم المسألة فإنه لا مستكره له
Artinya : "Jangan salah seorang diantara
kalian mengatakan (dalam doanya) : Ya Allah, ampunilah hamba jika Engkau mau.
ya Allah, rahmatilah hamba jika Engkau mau. agar menunjukkan keyakinan dalam
doanya karena tidak ada yang memaksanya (untuk berdoa)." (HR Bukhori dan
Muslim)